Sektor perdagangan merupakan bidang kenegaraan yang sangat terdampak oleh dinamika hukum Internasional dan hukum nasional.
Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Departemen Hukum Internasional atas kerja sama Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Perdagangan (Kemdag) Republik Indonesia dan juga Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, bertujuan untuk berkontribusi lebih mendekatkan implementasi Hukum Internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia. FGD ini juga diselenggarakan untuk lebih memajukan dan lebih mengembangkan kepentingan nasional Indonesia dalam forum internasional.
Panel diskusi yang terdiri dari empat orang praktisi dan akademisiyaitu: Dr. Iur. DamosDumoliAgusaman, S.H., M.A, (Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Nasional Kemlu); Moga Simatupang, S.Sos (Sekretaris Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional), Prof. AtipLatipulhayat, S.H., LL.M., Ph.D. (Kepala Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum); Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. (Kepala Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum).
Narasumber 1, Moga Simatupang, S.Sos.:
Perjanjian perdaganganInternationalmemiliki peranan sangat penting. Menurut Moga Simatupang: ”tidak ada satu pun negara di dunia yang dapat menutup dirinya dari perdagangan internasional.” Hal ini menggambarkan betapa pentingnya aspek-aspek hukum terkait dengan perdaganganinternasional. Moga kemudian memberikan contoh bahwa dengan membuat perjanjian perdagangan internasional antara Indonesia dan Pakistan, saatini penguasaan pasar kelapa sawit oleh Indonesia di Pakistan mencapai 77 persen hal ini melonjak tajam dari sekira 33 persen penguasaan pasar, sebelum adanya perjanjian perdagangan internasional.
Narasumber 2, Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Susi Dwi Harijanti menyatakan apresiasinya terhadap penyelenggaraan seminar ini, karena saat ini tidak banyak universitas-universitas di Indonesia yang memasukkan kajian hukum internasional ke tata negara, maupun juga sebaliknya. Hubungan hukum tata negara dan hukum internasional dapat dijelaskan dengan “titik taut” secara keilmuan dan praktis. Secara keilmuan, ilmu hukum internasional dan hukum tata negara sama-sama menjadikan negara sebagai objek pembahasannya. Hukum internasional juga menjadi sumber hukum.Konvensi ketatanegaraan memasukkan perjanjian-perjanjian internasional di bidang ketatanegaraan sebagai sumber hukum formal. Dalam hal ini yang masih tidak terlalu jelas di Indonesia adalah manakan yang menjadi sumber hukum tata negara apakah perjanjian internasional nya atau undang-undang yang mengesahkan/mengimplementasikan perjanjian internasional tersebut.
Dari tatanan praktis, terdapat adanya “konvergensi fungsional.” Ketika berbicara HI Dan HTN karena memiliki objek penyelidikan yang sama maka untuk menyelesaikan suatu persoalan kedua keilmuan tersebut membutuhkan satu sama lain. Hukum internasional apa pun bentuknya baik perjanjian maupun hukum kebiasaan internasional dapat menjadi sumber hukum bagi berbagai cabang keilmuan hukum, terutama cabang-cabang ilmu hukum publik.
Mengapa perjanjian internasional menjadi topik panasdi dalam kajian HTN dapat dijawab dengan dua hal. Pertama adalah adanya keterlibatan “nationalInterest” atau kepentingan nasional dan kedua adanya asas demokratis di dalam pembuatan perjanjian Internasional. Presiden memiliki kewenangan eksklusif untuk membuat Perjanjian Internasional sesuai dengan pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945. Apabila dihubungkan dengan nilai-nilai demokrasi maka hal ini perlu dikaji secara lebih jauh lagi apakah pemusatan kewenangan pemusatan pembuatan perjanjian internasional pada ranah eksekutif tersebut tidak demokratis. Dalam hal ini perlumendetailkan fase deliberasi dalam pembuatan perjanjian internasional. Salah satu contohnya adalah mengadakan mekanisme publichearing.
Dalam Undang-Undang No.11 tahun 2012 dijelaskan bahwa salah satu asas pembentukan undang-udangan adalah adanya partisipasi masyarakat. Masalah mengenai apakah undang-undang ratifikasi harus tunduk atau tidak terhadap asas ini harus dikaji secara lebih mendalam.
Narasumber 3, Prof. AtipLatipulhayat, S.H., LL.M.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Undang-Undang Perjanjian Internasional merupakan “undecisivedecision”. Putusan MK tersebut merupakan putusan yang tidak memberikan putusan atau keadilan. Hal ini karena problem utama yang seharusnya dibahas adalah bagaimana posisi Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia, bukan putusan yang hanya membahas kewenangan pembuatan perjanjian internasional.
Saat ini hukum internasional menuju kearah hukum global. Hukum internasional tidak hanya berhenti untuk mengatur hubungan antar negara saja, melainkan telah “menukik” menuju kepada pengaturan terhadap individu.
Konsep konstitusi global (global constitution) memiliki beberapa dimensi: (1) dimensi partisipasi sosial, dimana masyarakat internasional berperan dalam pembentukannya; (2) dimensi analogi, yaitu dapat dilihat dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menjadi global constitution karena tidak ada satu punkonstitusi negara di dunia yang bertentangan dengannya; (3) Dimensi Normatif, yaitu adanya kesadaran masyarakat duniaakan ketidakmampuan norma hukum internasional yang ada untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Dengan demikian dalam hal ini muncul lahiuscogens yang posisinya di atas norma-norma hukum internasional yang ada saat ini.
Sub sistem-sub sistem berupa hukum internasional, hukum internasional regional dan hukum nasional telah membentukglobal constitution.
Saat ini pembahasan tidak dapat hanya difokuskan ke dalam perjanjian internasional saja.Perjanjian internasional bukan satu-satunya sumber hukum internasional dalam arti formal. Konstitusi Indonesia saat ini hanya mengatur masalah perjanjian internasional, belum menyentuh masalah hukum kebiasaan internasional. Padahal, berbagai negara telah mengatur masalah tempat hukum kebiasaan internasional dalam sistem hukum nasionalnya.
Narasumber 4, Dr. Iur Damos Dumoli Agusmas, S.H., M.A.
Terdapat setidaknya 4 (empat permasalahan) dalam menentukan posisi hukum internasionaln dalam sistem hukum nasional Indonesia: (1) Masalah posisi perjanjian internasional yang didiskusikan dalam FGD ini; (2) Masalah posisi customaryinternationallaw dalam sistem hukum nasional Indonesia; (3) Masalah tempat Decisionof International Organizations (seperti keputusan International CourtofJustice dan World Trade Organization); dan (4) Masalah keterikatan Indonesia terhadap keputusan-keputusan Administrasi Internasional, seperti Keputusan International Maritime Organization atau International LabourOrganization.
Permasalahan mengenai keputusan administrasi internasional menjadi permasalahan yang cukup hangat. Keputusan-keputusan tersebut seolah disodorkan saja di depan halaman melalui “backdoor”. Tanpa menempuh proses dan persetujuan negara kita.
Membahas persoalan posisi hukum internasional pasca putusan MK tentang Uji Materi UU PI, terdapat perkembangan yang cukup mendasar. Putusan MK menyetujui satu permohonan dari permohonan-permohonan yang diajukan. Namun, persetujuan tersebut sifatnya masih “interpretative”
Dalam hal ini, MK membuat kriteria-kriteria untuk menentukan mana perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan mana yang tidak. Kriteria tersebut adalah: (1) Menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait beban keuangan negara; atau (2) Memerlukan pembentukan atau perubahan undang-undang. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kriteria tersebut cukup? Jawabannya adalah tidak. Dengan demikian keputusan pelaksanaannya diserahkan kembali kepada proses konsultasi politis antara pemerintah dan DPR.
Kriteria di atas membuat pemerintah meninggalkan kriteria yang adalah dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, khususnya dalam mengikatkan diri ke dalam perjanjian-perjanjian perdagangan internasional. Hal ini memperkuat adanya kriteria yang diatur undang-undang perdagangan yang mewajibkan meratifikasi dengan bentuk undang-undang untuk perjanjian internasional yang berkaitan dengan akses pasar.
Makna “akibat luas dan mendasar” harus ditafsirkan dan dielaborasi secara lebih lanjut. Persoalan bagaimana kriteria tersebut harus dielaborasi menjadi pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya.
Putusan MK juga memberikan pandangan baru bagi pemerintah. Awalnya pemerintah berpendapat bahwa pengesahan undang-undang dalam pasal 11 UUD 1945 dan persetujuan DPR dalam pasal 20 UUD 1945 merupakan suatu rangkaian kesatuan. Keduanya adalah suatu kesatuan proses. Namun MK ternyata membedakan keduanya. Persetujuan harus diberikan DPR dalam bentuk rekomendasi.
Putusan MK juga memberikan makna baru bagi undang-undang yang mengesahkan Perjanjian internasional. Makna awal adalah pengesahan merupakan tindakan internal yang memberikan persetujuan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan external untuk terikat kepada Perjanjian Internasional. MK kemudian memberikan makna tambahan bahwa undang-undang pengesahan tersebut juga merupakan instrumen untuk mengimplementasikan internasional ke dalam sistem hukum nasional.




